BismillahiSlamet
DI Indonesia, Dewi Sri telah menjadi mitos yang subur dalam ingatan orang. Tidak aneh kalau ia muncul dalam folklore di berbagai tempat di tanah air, khususnya di tanah Jawa. Dewi Sri dipandang sebagai pembawa kemakmuran melalui pertanian padi sehingga kedudukannya sangat istimewa. Ia tokoh legendaris terhormat sehingga orang Jawa membuat ruang khusus (sakral) untuknya. Ruang itu adalah senthong kiwa atau istilah populernya krobongan. Sebagai bentuk penghormatan terhadap Dewi Sri, ruang itupun dihiasi lengkap dengan beraneka barang sebagai simbolisasi pertanian, kesejahteraan, kebahagiaan dan kesuburan. Krobongan yang menjadi bagian dari dalem (rumah) yang terletak di bagian tengah rumah, wujudnya lebih menonjol dibandingkan senthong kiwa dan senthong tengen. Kenyataan itu tentu saja menjadikan krobongan terkesan sangat istimewa.
Karena dianggap keramat dan sakral, tempat itu biasanya dipergunakan untuk sesaji, menyimpan senjata, dsb. Di depannya diberi ublik hias dan patung Loro Blonyo. Ruang krobongan dihiasi pula dengan tempat tidur, bantal dan guling. Akan tetapi, peralatan itu tidak dipergunakan untuk beristirahat. Di sana pula tempat berkomunikasi dengan roh nenek moyang atau dengan Dewi Sri.
Menurut Koentjaraningrat (1994) di dalam Agami Jawi terdapat dewi kesuburan dan dewi padi. Di mana-mana padi diandaikan berjiwa dan bersifat keibuan dan disapa dengan bahasa yang halus: Ibu Pari atau Nini Pantun (Bali), Empon atau Bebuyut (Lombok), Indo Pare (Bugis), Ineng Pede (Aceh), Ibu Pare (Sunda), (Rachmat Subagya, 1981).
Di dalam tradisi Jawa, krobongan biasanya mudah ditemukan di rumah para raja, pangeran atau priyayi Jawa. Namun, krobongan sebenarnya tidak hanya monopoli mereka saja, karena krobongan juga ditemukan di rumah orang Jawa awam. Perbedaannya, di lingkungan keraton, krobongan itu masih ada dan terpelihara dengan baik, sementara di lingkungan orang awam sudah sulit ditemukan. Mungkin karena pertimbangan tertentu, saat ini sebagian besar orang Jawa sudah tidak menganggap peting lagi keberadaan krobongan di dalam rumahnya.
Akibat selanjutnya tentu sudah dapat dibayangkan bagaimana orang Jawa masa kini dalam memahami arti penting krobongan: banyak yang sudah tidak mengenal istilah krobongan. Di samping itu, saat ini kebanyakan orang Jawa sudah tidak lagi tinggal di rumah model Jawa seperti masa lalu. Mereka cenderung membuat rumah dengan lebih pragmatis dan modern seraya meninggalkan nilai-nilai adiluhung rumah tradisi Jawa.
***
MENURUT Drs Rahmanu Widayat, pengajar Desain Interior Fakultas Sastra Jurusan Senirupa UNS Sebelas Maret, di Keraton Surakarta krobongan yang juga sering disebut sebagai petanen, berada di Dalem Prabasuyasa. Bentuknya berupa rumah limasan kecil, berdinding kaca, diberi pintu, dan menghadap ke selatan seperti arah dari deretan empat buah kamar di belakangnya. Bagian atasnya dicat warna ungu dan keemasan dengan hiasan naga. Di dekatnya diletakkan sepasang diyan (lampu) yang terus menyala. Di dalam krobongan diberi perlengkapan tempat tidur disertai hiasan dan dekorasi yang sangat bagus.
Di Keraton Yogyakarta, krobongan berada di Prabayeksa terletak di bagian belakang. Di situ disediakan pula ruang untuk kehidupan pribadi (omah mburi), yaitu berupa kamar pribadi beserta ranjang kebesaran tempat pusaka-pusaka keluarga disimpan dan roh-roh leluhur serta Dewi Sri dipuja.
Krobongan sebagai ruang yang dianggap suci atau sakral, juga berkaitan dengan Sang Tani (Dewi Sri). Di dalam krobongan atau petanen, selain dipakai untuk menyimpan benda pusaka juga dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan padi hasil panenan pertama. Petanen itu merupakan lambang Dewi Sri. Di samping itu, Dewi Sri juga dianggap sebagai si pemilik rumah sebenarnya. Di depan krobongan digunakan untuk kegiatan upacara-upacara adat dan agama, seperti khitanan, perkawinan, dan sebagainya. Krobongan merupakan suatu tempat simbolik penyatuan Dewa Kamajaya dengan Dewi Kama Ratih. Hal itu diperlihatkan secara konkret melalui ranjang, kasur, bantal, dan guling. Di samping itu, krobongan berhubungan dengan lambang kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga.
Perlengkapan krobongan (tempat Dewi Sri) yang dipandang sebagai lambang kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga meliputi (1) genuk (kiri dan kanan) berisi sejimpit beras dan sebagai lambang supaya tidak kekurangan bahan makanan, (2) kendhi (sepasang) berisi air, bermakna supaya tidak kekurangan air, (3) juplak (lampu minyak kelapa) sebagai lambang kehidupan, (4) lampu robyong (lampu bercabang dan berhias) berjumlah dua buah adalah merupakan lambang kehidupan, (5) paidon untuk menaruh kembar mayang yang melambangkan pohon hayat atau pohon kehidupan, dan (6) loro-blonyo melambangkan wujud Dewi Sri dan Raden Sadana.
Krobongan tidak dapat dipisahkan keberadaannya dengan mitos Dewi Sri. Di ruangan itu disimpan seikat padi yang melambangkan dewi padi atau Dewi Sri sehingga jelas berhubungan dengan kesejahteraan keluarga. Dewi Sri sebagai dewi pertanian juga disimbolkan dengan padi. Sementara dua buah patung mempelai Loro-Blonyo di depan krobongan adalah lambang kebahagian suami-isteri dan lambang kesuburan.
Krobongan adalah juga sebagai tempat untuk menyimpan pusaka seperti keris tombak dan sebagainya. Karena senjata adalah benda yang suci maka harus disimpan di tempat yang suci pula. Yang menarik adalah pelapis bantal, guling, dan penutup tempat tidur pada krobongan yang berupa kain cindai atau patola India. Kain cindai yang polanya sarat dengan makna dianggap penuh kegaiban dan kesaktian. Di Jawa, kain patola dipakai hanya untuk kalangan ningrat dan sebagai pembungkus benda-benda pusaka seperti keris, wayang kulit, gamelan, dan lain-lain.
Pola yang banyak dipakai adalah pola jlamprang, yaitu pola berasal dari ragam hias cakra Hindu-Buddha. Dalam agama Hindu, pola ini melambangkan senjata Dewa Wisnu untuk mengalahkan kejahatan atau dapat juga mengungkapkan delapan tataran yoga: yama (pengendalian diri), niyama (mawas diri), asana (sikap), pranayana (pengaturan pernapasan), pratyahara (menahan nafsu), dharma (pemusatan pikiran), dhyana (mengheningkan cipta) dan samadhi (semedi). Dalam agama Buddha, cakra berarti roda kehidupan yang mengandung delapan jeruji dan melambangkan kedelapan jalur: sikap yang benar, keteguhan yang benar, wicara yang benar, perilaku yang benar, mata pencaharian yang benar, upaya yang benar, ingatan yang benar dan semedi yang benar.
***
DIJELASKAN oleh Rahmanu Widayat bahwa lambang-lambang tersebut membekas kuat di dalam kebudayaan dan tradisi Jawa sehingga sulit membedakan antara kebudayaan Jawa asli dengan Hindu-Buddha. Di Jawa, mata angin melambangkan dan mencerminkan pandangan hidup terhadap tata dunia. Dalam pandangan ini pusat mata angin mengacu pada Sang Pencipta, yakni Batara Guru yang bertahta di Gunung Semeru serta mengacu pada kekuatan sakti yang ada dalam segala benda. Setiap mata angin melambangkan daur penciptaan dan kelahiran kembali yang tiada putus-putusnya.
Misalnya, timur menunjukkan awal atau kebangkitan, selatan merupakan titik puncak, barat bermakna kemalangan, dan utara bermakna kematian. Mata angin yang lain (barat laut, timur laut, tenggara, dan barat daya) mempunyai makna-makna yang sama. Sesuatu yang ada dalam jagad raya dihubungkan dengan salah satu mata angin. Dalam jagad cilik (mikrokosmos), manusialah yang menjadi pusatnya, atau lebih tepatnya manusia mempunyai kekuasaan yang berasal dari kekuatan sakti sang penciptanya.
Pandangan ini juga tercermin pada tata desa dengan desa utama menjadi pusat yang dikelilingi oleh desa-desa kecil atau juga tercermin pada tata pemerintahan dengan raja dikelilingi oleh kedelapan penasihatnya. Kesembilan titik pada kain cindai pola jlamprang dapat ditafsirkan dengan kesembilan wali (Wali Sanga). Kain cindai yang penuh dengan makna ajaran hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup tersebut tepat untuk diterapkan pada penutup tempat tidur, pelapis bantal dan guling yang dipersembahkan kepada Dewi Sri sebagai dewi kebahagiaan, khususnya kebahagiaan dalam berumah tangga masyarakat Jawa.
Hiasan naga pada krobongan muncul setelah adanya pengaruh seni budaya Hindu, dan mengingatkan pada cerita Amertamanthana (dalam cerita Mahabarata), yaitu sewaktu ular Basuki melilit pada pinggang gunung Mandara yang membantu untuk keluarnya air amerta (abadi) yang dibutuhkan para dewa untuk diminum. Ditegaskan oleh (HJ.Wibowo dkk. (1987:157) dalam Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta bahwa ular atau naga menurut pandangan bangsa Indonesia dianggap sebagai lambang dunia bawah. Sebelum Zaman Hindu (Neolithicum), di Indonesia terdapat anggapan bahwa dunia ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu dunia bawah dan dunia atas, yang masing-masing mempunyai sifat-sifat bertentangan. Dunia bawah antara lain dilambangkan dengan bumi, bulan, gelap, air, ular, kura-kura, buaya. Sedangkan dunia atas dilambangkan dengan matahari, terang, atas, kuda, rajawali.
Pandangan semacam itu juga hampir merata di seluruh bangsa Asia. Dalam cerita Mahabarata maupun pandangan bangsa Indonesia sendiri sebelum Zaman Hindu, naga atau ular selalu berhubungan dengan air, sedangkan air mutlak diperlukan sebagai sarana pertanian. Hiasan naga di krobongan merupakan lambang harapan orang Jawa dalam bertani supaya tidak kekurangan air.
Penempatan hiasan burung garuda di krobongan mengingatkan pada cerita Gurudeya, ketika burung garuda anak Winata mendapatkan amerta untuk membantu melepaskan ibunya dari perbudakan dan menjadikan para dewa tidak mati. Dalam kaitannya dengan proses penyelamatan dan pembebasan tersebut, burung garuda menjadi simbol pemberantas kejahatan. Dengan adanya hiasan garuda di krobongan, orang Jawa menaruh harapan agar terbebas dari unsur-unsur jahat. Naga atau ular sebagai lambang dunia bawah, garuda lambang dunia atas merupakan simbolisasi untuk menjaga keseimbangan dalam hidup: ada siang dan malam, ada gelap ada terang, ada laki-laki dan perempuan.
Nilai keadiluhungan seperti yang tercermin di dalam konsep dan wujud krobongan memang tidak lagi praktis dan memakan tempat jika dipaksakan di tengah kondisi perumahan saat ini. Tetapi mempertimbangkan kembali keberadaan krobongan di dalam rumah orang Jawa tentu tidak ada salahnya. Tentu saja dengan makna yang diselaraskan dengan situasi pribadi masing-masing orang Jawa. q-m
*) Drs Dhanu Priyo Prabowo MHum adalah peminat budaya dan sastra Jawa,
tinggal di Kulonprogo
”Piye kabare?” tanya seorang paranormal. ”Masih gini-gini saja, Mbah,” jawab yang ditanya. ” Kamu lahirnya kan Selasa Kliwon? Kamu tidak cocok kerja di air. Kamu cocoknya jadi pedagang,” kata sang paranormal. ”Untuk jelasnya Ketik ....., kirim ke ..... dst.” Begitu kurang lebih iklan di berbagai televisi yang menawarkan jasa konsultasi nasib berdasarkan primbon.
SAMPAI saat ini paling tidak ada tiga tokoh paranormal yang mengiklankan jasa konsultasi nasib berdasarkan primbon melalui media televisi. Sering ditayangkannya iklan konsultasi nasib berdasarkan primbon di teve, memperlihatkan bahwa peminat primbon cukup banyak. Kalau tidak, tentu iklan semacam akan segera menghilang, mengingat biaya pasang iklan di teve tidaklah murah. Sang paranormal terus menayangkan iklannya di teve karena berhasil memperoleh keuntungan lumayan dari kegiatan yang dilakukan.
Kecuali di televisi, sejumlah tokoh paranormal juga menawarkan jasa konsultasi nasib melalui media massa cetak. Jumlah paranormal yang menawarkan konsultasi nasib di media cetak jumlahnya lebih banyak. Umumnya, paranormal-paranormal tersebut menggunakan primbon (Jawa) sebagai pijakan dalam memberikan konsultasi nasib. Tetapi ada pula paranormal yang menggunakan cara atau pijakan lain dalam memberikan konsultasi, antara lain menggunakan tanda tangan dan tulisan pihak yang berkonsultasi, dengan teknik telepati, atau melalui penyebutan nama, alamat dan denah tempat tinggal orang yang berkonsultasi.
Munculnya fenomena sosial di atas memperlihatkan dengan jelas bahwa saat ini pamor primbon (Jawa) sedang naik daun. Bila di masa lalu primbon hanya terserak di buku-buku kuno maupun buku berbahasa Jawa, dan itupun hanya dibuka oleh kalangan terbatas, kini primbon telah merasuk ke mana-mana, termasuk ke handphone dan internet. Untuk berkonsultasi nasib berdasarkan primbon, kini orang bisa menggunakan HP dan mengakses internet. Sementara konsultasi berbasis primbon melalui media massa cetak, juga masih eksis.
Ki Joko Bodo, salah satu paranormal yang selama ini melayani jasa konsultasi lewat teve, mengatakan bahwa peminat jasa ini memamg sangat banyak. Bahkan persaingan antarparanormal untuk menawarkan jasa konsultasi primbon juga berlangsung cukup sengit, sehingga sempat ada penghentian iklan layanan paranormal di teve. ”Karena masyarakat memang benar-benar sangat mengharapkan layanan jasa ini, sebagai paranormal saya juga harus berusaha maksimal untuk memberikan layanan sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya. Yang jelas, patokan primbon sudah ada sejak ratusan tahun dan pernah menjadi pegangan para leluhur kita dalam berbagai aktivitas kehidupan,” tandas Joko Bodo di tempat tinggalnya, Istana Wong Sinting di kawasan Lubang Buaya Jakarta Timur.
Di KR, nama Mbah Kalam cukup kesohor sebagai konsultan peringatan hari kematian berdasarkan primbon. Dalam berbagai pameran pembangunan maupun pameran pers, mbah Kalam selalu ikut dihadirkan bersama KR dan sukses mendulang banyak peminat untuk bertanya maupun berkonsultasi.
***
SUDAH sejak lama primbon diminati banyak orang. Ketika primbon masih ditulis dengan huruf Jawa, boleh jadi hanya terbatas warga masyarakat yang berksempatan membaca. Primbon berhuruf Jawa jumlahnya terbatas dan hanya tersimpan di perpustakaan maupun tempat kediaman priyayi luhur. Tetapi ketika buku primbon telah ditransliterasi (dialihaksarakan) ke dalam huruf Latin dan dimassalkan dengan teknologi percetakan, semakin banyak orang berkesempatan membaca primbon.
Bahwa buku primbon yang telah dicetak selalu menarik perhatian khalayak ramai, bisa diketahui dari seri cetakannya. Sebagai gambaran, ada buku Kitab Primbon Betaljemur Adammakna (254 halaman) yang dihimpun oleh R Soemodidjojo dan dikeluarkan oleh Penerbit Soemodidjojo Mahadewa Yogyakarta pada th 1993 saja sudah mengalami cetak ulang ke-52. Primbon Ajimantrawara, Yogabrata dan Rajah Yogamantra yang diterbitkan oleh penerbit yang sama pada tahun 1994 juga telah dicetak ulang ke-16. Sementara buku primbon kelanjutan Betaljemur Adammakna, yakni Lukmanakim Adammakna (1990) telah mengalami cetak ulang ke-5 dan Atassadhur Adammakna (1990) mengalami cetak ulang ke-4. Padahal berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak percetakan, sekali cetak bisa di atas lima ribu eksemplar.
Berdasarkan informasi, buku primbon tidak hanya diminati oleh masyarakat di Jateng, Jatim dan DIY. tetapi orang-orang Jawa yang ada di kota-kota besar di seluruh Indonesia, khususnya Jakarta, banyak yang tertarik membaca primbon. Orang Jawa di luar Jawa, khususnya di Sumatera dan Kalimantan, juga masih banyak yang tertarik pada primbon.
Banyak orang masih tertarik membaca primbon karena ingin mengetahui langsung pedoman-pedoman kehidupan ala tradisi Jawa yang selama ini hanya mereka peroleh secara lisan dari para pinisepuh (leluhur). Hal-ihwal yang ingin mereka ketahui antara lain menyangkut penentuan hari, tanggal, bulan dan waktu yang baik untuk berbagai keperluan, seperti perkawinan, pendirian rumah, memulai usaha dan penyelenggaraan upacara tradisi. Juga untuk keperluan penentuan peringatan (pengetan) terhadap orang yang telah meninggal dunia, syarat-syarat dan rangkaian upacara pendirian rumah, jenis-jenis sesaji yang diperlukan untuk keperluan tertentu, profesi atau pekerjaan yang cocok. Juga upaya mendatangkan berkah bagi seseorang berdasarkan hari lahir, watak manusia berdasarkan hari kelahiran, kepribadian wanita berdasarkan ciri-ciri fisik (katuranggan), perbintangan, hari baik untuk mencari rezeki, dan sebagainya.
Banyaknya pengetahuan yang termuat dalam primbon, dan ternyata pengetahuan tersebut masih banyak yang mempercayai serta mempraktikkannya. Hal itu menunjukkan bahwa primbon merupakan wahana pewarisan nilai-nilai budaya Jawa. Buku primbon telah menjadi wahana penyebaran-persebaran budaya Jawa dalam arti yang sesungguhnya. Secara diam-diam, primbon telah menyebarluaskan budaya Jawa dalam lingkup yang tak terbatas. Saat ini, dengan dukungan HP dan internet, jangkauan penyebarluasan budaya Jawa berdasarkan primbon telah bersifat global.
***
PRIMBON selama ini termasuk khazanah budaya Jawa yang hanya dipandang dengan sebelah mata, sehingga boleh dibilang agak marjinal. Karena pengaruh pendidikan Barat yang rasionalistik, banyak pihak menganjurkan untuk tidak mempercayai primbon begitu saja. Pesan yang sering dikemukakan oleh banyak pihak dalam menyikapi primbon adalah boleh percaya boleh tidak. Bahkan, dewasa ini makin banyak pihak yang menganggap primbon sebagai sumber informasi budaya yang banyak unsur takhayulnya.
Tentu saja anggapan bahwa primbon banyak berisi hal-hal yang bersifat takhayul, tidak benar sepenuhnya. Sebagai sebuah warisan budaya peninggalan leluhur primbon tak luput dari kekurangan. Hal itu wajar-wajar saja, mengingat apa saja yang ada di dunia ini tidak ada yang sempurna. Manusia saja tidak ada yang sempurna, apalagi primbon, sesuatu yang dihadilkan oleh manusia di masa lalu.
Disebutkan oleh Ensiklopedi Umum (1986), bahwa primbon adalah kitab atau daftar perhitungan nujum, antara lain memuat perhitungan hari-hari yang baik dan yang buruk untuk mengerjakan sesuatu. Buku perhitungan semacam ini ada di seluruh daerah di Indonesia. Sedangkan Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) menyebut primbon sebagai kitab yang berisi ramalan dan perhitungan hari naas dsb. Dari dua pemahaman itu saja sudah jelas bahwa primbon dikesankan kental nuansa takhayulnya, yakni dengan adanya kata nujum dan ramalan. Wajar bila masyarakat cenderung memandang primbon dengan sebelah mata, bahkan ada pihak yang sampai mengharamkannya.
Mengapa warisan budaya yang berisi banyak hal tersebut disebut primbon? Budayawan Jawa RS Subalidinata menduga bahwa kata ‘primbon’ berasal dari kata dasar imbu yang diberi awalan pari atau per dan akhiran an.(pari/per-imbu-an). Imbu berarti simpan atau peram. Sehingga parimbon, perimbon atau primbon berarti sesuatu yang disimpan. Atau dapat juga diartikan sebagai tempat simpan-menyimpan. Dan tempat itu berupa kitab atau buku. Materi yang disimpan di dalam kitab tentu saja informasi-informasi dan pengetahuan-pengetahuan penting yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Karena pada mulanya berbagai informasi dan pengetahuan itu bersifat lisan, maka kemudian dituangkan dalam catatan-catatan lepas agar tidak musnah ditelah jaman.
Tampillah kemudian buku primbon sebagai sebuah kumpulan atau kompilasi catatan tertulis. Hal ini merupakan bukti otentik berkembangnya tradisi literer masyarakat Jawa. Berbagai informasi dan pengetahuan budaya yang semula bersifat lisan dan telah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari berabad-abad, oleh mereka yang melek huruf dituangkan dalam tulisan-tulisan lepas yang selanjutnya dijadikan kumpulan tulisan. Dengan cara ini proses pewarisan catatan-catatan tadi mampu melampaui kurun waktu panjang. Informasi yang termuat menjadi terhindar dari distorsi dan penyimpangan.
Budayawan Jawa R Tanoyo sendiri dalam Primbon Djawa Pawukon (1962) dan Primbon Sabda Pudjangga (1968) secara terus terang mengatakan bahwa primbon memuat hal-hal yang dianggap gugon tuhon (takhayul), paling tidak oleh kaum muda di zaman sekarang. Tetapi sejatinya anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Memang ada hal-hal yang tampak sebagai gugon-tuhon, tetapi banyak pula pengetahuan yang termuat dalam primbon dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Masyarakat yang semakin tinggi pengetahuan dan banyak pengalamannya dituntut untuk arif memilah-milah mana yang cenderung takhayul dan mana yang rasional.
Blog Entry
Membicarakan masalah pelestarian warisan budaya dan lingkungan hidup di Jawa khususnya Surakarta dan Yogyakarta tidak akan pernah lepas dari permasalahan bagaimana cara mempertahankannya. Amanat warisan budaya hendaknya kita emban dengan usaha pelestarian dan pemanfaatan secara positif karena terlalu sarat dengan nilai-nilai filosofi, etika, dan pesan moral untuk senantiasa kita dalami, pelihara, bina dan kembangkan demi kepentingan hidup manusia secara utuh dan menyeluruh.
Sebagai salah satu warisan budaya, upacara tradisi adalah salah satunya. Unsur-unsur budaya Jawa intangible yang masih terpelihara diantaranya adalah nilai-nilai luhur (value) dan keyakinan-keyakinan (beliefs) yang digunakan sebagai rencana atau pedoman perilaku atau adat serta memecahkan masalah-masalah yang berlaku dari generasi ke generasi.
Nilai-nilai budaya lain yang bersifat simbolis sering dimanifestasikan ke dalam bentuk upacara adat seperti bermacam-macam upacara tradisional untuk bayi yang baru lahir; yaitu mitoni (tingkepan), brokohan, sepasaran, selapanan, tedhak siti, ngruwat (ruwatan), dan khitanan. Upacara adat sendiri yang sampai saat ini masih sering dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Jawa pada umumnya mempunyai fungsi spiritual yaitu memberikan petunjuk atau gambaran hubungan manusia dengan Tuhan, hal ini memenuhi kebutuhan rohani manusia fungsi sosial dimana dalam upacara melibatkan individu-individu warga masyarakat yang mempunyai kepentingan sama, yang dilandasi oleh kepercayaan dan keyakinan yang sama pula, sehingga dapat menciptakan kerukunan sosial dan membawa dampak terwujudnya ketenangan, ketentraman dan kesejahteraan hidup.
Tedhak siten berasal dari dua kata, yaitu tedhak dan siten. Tedhak berarti dekat, turun. Siten berasal dari kata dasar ‘siti’ yang berarti tanah dan akhiran ‘an’ yang melengkapi arti kata tanah. Artinya, tedhak siten merupakan suatu upacara sebagai tanda atau simbol bahwa si anak pertama kali menginjak atau turun ke tanah secara resmi sebagai suatu upaya untuk memperkenalkan anak pada bumi (tanah).
Tedhak siten dilakukan pada waktu bayi berumur tujuh lapan (satu lapan sama dengan 35 hari). Simbol yang tersirat dalam tedhak siten adalah mengungkapkan masa depan bayi. Sedangkan maksud diadakannya tedhak siten adalah kelak kalau anak sudah dewasa akan kuat dan mampu berdiri sendiri dalam menempuh kehidupan yang penuh tantangan dan harus dihadapinya untuk mencapai cita-cita.
Relasi dengan Tuhan
Tedhak siten atau dhun-dhunan (ada juga yang menyebut dengan mudhun) lemah atau turun tanah merupakan upacara yang dilakukan sebagai peringatan bagi manusia akan pentingnya makna hidup di atas bumi yang mempunyai relasi, yaitu relasi antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan lingkungan alam. Artinya, upacara tedhak siten merupakan suatu upacara yang mengandung harapan orangtua terhadap anaknya agar si anak nantinya menjadi orang yang berguna bagi keluarga, nusa, dan bangsa. Harapan orangtua ini termanifestasikan dalam suatu upacara yang diselenggarakan pada masa kanak-kanak yang dinamai upacara tedhak siten.
Si anak akan dibimbing menginjakkan kakinya di tanah kemudian menginjakkannya ke juadah yang berjumlah tujuh. Lalu anak dibimbing menaiki tangga tebu. Setelah sampai pada tebu yang teratas, lalu diturunkan untuk menapaki juadah itu lagi. Anak dibimbing untuk masuk kurungan ayam. Di dalam kurungan ayam tersebut terdapat beberapa barang seperti barang perhiasan, alat-alat tulis, padi, barang-barang mainan, dan lain-lain. Anak biasanya tertarik untuk memperhatikan dan kemudian mengambil barang yang tersedia.
Setelah selesai, anak dimandikan dengan air kembang setaman lalu pakaian dikenakan. Dengan demikian, selesailah upacara tedhak siten.
Uba Rampe Tedhak Siten dan Maknanya
Jadah terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan kelapa dan garam, dikukus dan dihaluskan kemudian dicetak sesuai dengan kebutuhan. Rasanya gurih, namun setelah diberi beberapa warna alami, rasa dan makna yang dikandung pun jadi lain.
Makna yang terkandung dari jadah adalah perjalanan hidup yang akan dilalui oleh si anak. Menggambarkan kehidupan yang penuh cobaan, suka dan duka sehingga membutuhkan keuletan.
Makna yang dikandung dalam jadah tujuh warna adalah:
1. Putih : kesucian
2. Merah Muda : kelembutan hati
3. Merah : keberanian
4. Hijau : kehidupan
5. Kuning : bersinar
6. Ungu : keluhuran budi
7. Hitam : keabadian
Tangga tebu wulung (tebu hitam) : Mantapnya hati, pendirian yang teguh.
Menaiki tebu wulung : untuk menggambarkan perjalanan hidup dan mencapai cita-cita yang tinggi dan luhur. Menandakan si anak mengenal kenyataan hidup yang akan dilalui di kemudian hari.
Jenang blowok : Terdiri dari jenang merah putih dan jenang katul (bekatul) yang melambangkan perjalanan hidup itu tidak selalu mulus, kadang-kadang terperosok (keblowok – bahasa Jawa).
Mandi dengan air setaman : Menggambarkan bahwa anak tetap sehat jasmani dan rohani. Membawa keharuman nama keluarga.
Kurungan yang dihiasi dengan berbagai macam mainan : maknanya menggambarkan dunia dengan berbagai pilihan untuk hidup di kemudian hari.
Udik-udik : beras kuning yang dicampur dengan empon-empon, uang logam dan bunga mawar dan melati yang melambangkan agar si anak suka menolong orang lain dengan memberikan sebagaian hartanya kepada orang yang membutuhkan.
Blog Entry
1. babad: sastra sejarah dalam tradisi sastra Jawa; digunakan untuk pengertian yang sama dalam tradisi sastra Madura dan Bali; istilah ini berpadanan dengan carita, sajarah [Sunda], hikayat, silsilah, sejarah [Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia]
2. bebasan: ungkapan yang memiliki makna kias dan mengandung perumpamaan pada keadaan yang dikiaskan, misalnya nabok nyilih tangan. gancaran: wacana berbentuk prosa.
3. gatra: satuan baris, terutama untuk puisi tradisional.
4. gatra purwaka: bagian puisi tradisional [parikan dan wangsalan] yang merupakan isi atau inti.
5. guru gatra: aturan jumlah baris tiap bait dalam puisi tradisional Jawa [tembang macapat].
6. guru lagu: [disebut juga dhong-dhing] aturan rima akhir pada puisi tradisional Jawa.
7.guru wilangan: aturan jumlah suku kata tiap bait dalam puisi tradisional Jawa.
8.janturan: kisahan yang disampaikan dalang dalam pergelaran wayang untuk memaparkan tokoh atau situasi adegan.
8.japa mantra: mantra, kata yang mempunyai kekuatan gaib berupa pengharapan.
9.kagunan basa: penggunaan kata atau unsur bahasa yang menimbulkan makna konotatif; ada berbagai macam kagunan basa, antara lain tembung entar, paribasan,bebasan, saloka, isbat, dan panyandra.
10. kakawin: puisi berbahasa Jawa kuno yang merupakan adaptasi kawyra dari India; salah satu unsure pentingnya adalah suku kata panjang dan suku kata pendek [guru dan laghu].
11. kidung: puisi berbahasa Jawa tengahan yang memiliki aturan jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata tiap baris, dan pola rima akhir sesuai dengan jenis metrum yang membingkainya; satu pupuh kidung berkemungkinan terdapat lebih dari satu pola metrum.
12. macapat: puisi berbahasa Jawa baru yang memperhitungkan jumlah baris untuk tiap bait, jumlah suku kata tiap baris, dan vokal akhir baris; baik jumlah suku kata maupun vokal akhir tergantung atas kedudukan baris bersangkutan pada pola metrum yang digunakan; di samping itu pembacaannya pun menggunakan pola susunan nada yang didasarkan pada nada gamelan;secara tradisional terdapat 15 pola metrum macapat,yakni dhandhang gula, sinom, asmaradana, durma,pangkur, mijil, kinanthi, maskumambang, pucung,jurudemung, wirangrong, balabak, gambuh, megatruh, dan girisa.
13. manggala: "kata pengantar" yang terdapat di bagian awal keseluruhan teks; dalam tradisi sastra Jawa kuno biasanya berisi penyebutan dewa yang menjadi pujaan penyair (isthadewata), raja yang berkuasa atau yang memerintahkan penulisan, serta--meskipun tak selalu ada--penanggalan saat penulisan dan nama penyair; istilah manggala kemudian dipergunakan pula dalam penelitian teks-teks sastra Jawa baru.
14. pada: bait parikan: puisi tradisional Jawa yang memiliki gatra purwaka (sampiran) dan gatra tebusan (isi); pantun [Melayu].
15. parikan lamba: parikan yang hanya mempunyai masing-masing dua baris gatra purwaka dan gatra tebusan.
16.parikan rangkep: parikan yang mempunyai masing-masing dua baris gatra purwaka dan gatra tebusan.
17. pepali: kata atau suara yang merupakan larangan untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, misalnya aja turu wanci surup.
18.pupuh: bagian dari wacana puisi dan dapat disamakan dengan bab dalam wacana berbentuk prosa.
19. panambang: sufiks/akhiran
20. panwacara: satuan waktu yang memiliki daur lima hari: Jenar (Pahing), Palguna (Pon), Cemengan (Wage), Kasih (Kliwon), dan Manis (Legi).
21.Paribasan: ungkapan yang memiliki makna kias namun tidak mengandung perumpamaan, misalnya dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan.
22. pegon: aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa.
23. pujangga: orang yang ahli dalam menciptakan teks sastra; dalam tradisi sastra Jawa; mereka yang berhak memperoleh gelar pujangga adalah sastrawan yang menguasai paramasastra (ahli dalam sastra dan tata bahasa), parama kawi (mahir dalam menggunakan bahasa kawi), mardi basa (ahli memainkan kata-kata), mardawa lagu (mahir dalam seni suara dan tembang), awicara (pandai berbicara, bercerita, dan mengarang), mandraguna (memiliki pengetahuan mengenai hal yang 'kasar' dan 'halus'), nawung kridha (memiliki pengetahuan lahir batin, arif bijaksana, dan waskitha), juga sambegana (memiliki daya ingatan yang kuat dan tajam).
24. saloka: ungkapan yang memiliki makna kiasan dan mengandung perumpamaan pada subyek yang dikiaskan, misalnya kebo nusu gudel.
25.saptawara: satuan waktu yang memiliki daur tujuh hari: Radite (Ngahad), Soma (Senen), Buda (Rebo),Respati (Kemis), Sukra (Jumuwah), dan Tumpak (Setu).
26. sasmitaning tembang: isyarat mengenai pola metrum atau tembang; dapat muncul pada awal pupuh (isyarat pola metrum yang digunakan pada pupuh bersangkutan) tetapi dapatpula muncul di akhir pupuh (isyarat pola metrum yang digunakan pada pupuh berikutnya.
27. sastra gagrak anyar: sastra Jawa modern, ditandai dengan tiadanya aturan-aturan mengenai metrum dan perangkat-perangkat kesastraan tradisional lainnya.
28. sastra gagrak lawas: sastra Jawa modern, ditandai dengan aturan-aturan ketat seperti--terutama--pembaitan secara ketat.
29.sastra wulang: jenis sastra yang berisi ajaran,terutama moral.
30. sengkalan: kronogram atau wacana yang menunjukkan lambang angka tahun, baik dalam wujud kata maupun gambar atau seni rupa lainnya yang memiliki ekuivalen dengan angka secara konvensional.
31. singir: syair dalam tradisi sastra Jawa.
32. sot: kata atau suara yang mempunyai kekuatan mendatangkan bencana bagi yang memperolehnya.
33. suluk: [1] jenis wacana (sastra) pesantren dan pesisiran yang berisi ajaran-ajaran gaib yang bersumber pada ajaran Islam; [2] wacana yang 'dinyanyikan' oleh dalang dalam pergelaran wayang untuk menciptakan 'suasana' tertentu sesuai dengan situasi adegan.
34.supata: kata atau suara yang 'menetapkan kebenaran' dengan bersumpah.
35. tembung entar: kata kiasan, misalnya kuping wajan.
36. wangsit: disebut juga wisik, kata atau suara yang diberikan oleh makhluk gaib, biasanya berupa petunjuk atau nasihat.
37. wayang purwa: cerita wayang atau pergelaran wayang yang menggunakan lakon bersumber pada cerita Mahabharata dan Ramayana.
38. weca: kata atau suara yang mempunyai kekuatan untuk melihat kejadian di masa mendatang.
39. wirid: jenis wacana (sastra) pesantren yang berkaitan dengan tasawuf.
( Disalin dari buku Percik-percik Bahasa dan Sastra Jawa; Karsono H Saputra; Keluarga Mahasiswa Sastra Jawa Fakultas Sastra UI, 2001)
Tags: istilah sastra, duljoni
2 comments share
Blog Entry Wikan Sangkan Paraning Ngaurip Jan 4, '09 12:45 AM
for everyone
Saking pundi kawitane nguni
manungsa kutu walang ataga
kang gumelar ngalam kiye
sayekti kabeh iku
mesthi ana inkang nganani
yeku Kang Karya Jagad
Ingkang Maha Agung
iku kang dadi sangkannya
iya iku kang dadi paraneki
sagunging kang dumadya
(Dari mana asal mulanya dulu/manusia dan segala makhluk/ segala yang ada di alam ini/ sebenarnyalah semua itu/ pasti ada yang mengadakan/ yaitu Pencipta Alam Semesta/ Tuhan Yang Maha Agung/ itulah asal mula/ dan itulah pula tujuan akhir/ dari semua yang ada). Demikianlah bunyi tembang Dhandhanggula, yang dituangkan dengan bahasa lugas, tanpa menggunakan kembang (bunga) dan lambang bahasa yang harus ditafsirkan lagi maknanya, sehingga semua orang dengan mudah memahami salah satu filsafat hidup Jawa tentang wikan sangkan-paraning ngaurip (Mengerti Asal dan Tujuan Hidup).
Pada era globalisasi sekarang ini, di mana hidup dan kehidupan manusia penuh dengan godaan, tekanan beban hidup dan tantangan hidup, akibat kemajuan zaman yang melesat dengan pesat, tidak terkejar lagi oleh nalar ataupun akal sehatnya orang-orang yang ketinggalan dan ditinggalkan zaman, sebab masih sederhana dalam menjalankan pikiran dan menjalani kehidupannya. Ketimpangan itu menyebabkan ketidak seimbangan antara kehidupan sosial yang berujud mengejar material untuk kelangsungan kehidupannya, dengan kehidupan spiritual yang ditujukan untuk mendapatkan ketentraman dalam hidupnya. Apalagi, kini wacana pun diumbar sebagai obor untuk membakar ketidak adanya keadilan dan kebenaran yang terjadinya secara kausal sesuai kepentingannya sendiri-sendiri dan dijadikan sebagai pemicu bagi rasa saling curiga-mencurigai menjadi kebencian, penyebaran informasi yang: ‘katanya orang’ (isue) menjadi agar dianggap ‘kenyataan yang sungguh ada kejadiannya (faktual)’, sehingga unjuk rasa murni (adu argumentasi) pun tak segan diubah menjadi unjuk adujotos dan adu emosional massal.
Kenyataan yang kontroversial itu menunjukkan bahwa kini orang tidak lagi bertindak untuk: 1. menjaga keseimbangan jiwa (jejeg adeging urip), ‘agar tidak goncang’ akibat godaan materialisme (gebyar duniawiah), kesombongan kekuasaan (adigang) dan ketegangan mental (stress); 2. menjaga kesatuan hidupnya dengan lingkungan alam (sekitar dan semestanya), sebagai wujud dari tugasnya sebagai makhluk yang dipercaya Allah untuk mengelola dunia, ‘agar tidak rusak/dirusak’ 3. menjaga keharmonisan dan tenggang rasa terhadap sesama (jejeg adeging urip bebrayan), ‘agar tidak saling bentrok. Ketiganya adalah syarat untuk mencapai kesempurnaan hidup dan kesempurnaan mati. Kesempurnaan untuk mengerti Asal dan Tujuan Hidup (wikan sangkan-paraning ngaurip, mulih mulanira (mengetahui jalan pulang ke asal-muasalmu), manunggaling kawula-gusti (sebagai ciptaan kembali kepada Sang Pencipta-nya); demikian seperti apa yang diuraikan secara adi logika (symbolic logic) dalam Wirid Hidayat Jati karya R Ng Ranggawarsita, tokoh utama Pujangga Baru yang hidup antara tahun 1802-1873).
Jalan untuk menuju kesempurnaan, dicapai melalui: ibadat atau sembah-sujud kepada Yang Maha Esa (Allah SWT), dilaksanakan melalui Jejeg adeging urip (tegak dan lurus menjalani kehidupannya) artinya jiwanya tegar (tiada goyah) oleh rasa was-was, oleh godaan duniawi dan oleh nafsu amarah; jalan lahir dan jalan batin. Manusia yang telah mencapai taraf kesempurnaan berarti telah mampu menjalani dan mengalami penghayatan batin; mendengar akasawakiya/akasasabda (swaraning langit/logos) sehingga disebut manusia waskita (bijak bestari); yang dalam Sufisme (filsafat Islam) disebut penghayatan mistik (tasawuf), yaitu mengetahui benar: ‘kenyataan kesatuan hidup (manunggaling urip)’.
Dunia pemikiran Barat kotemporer melalui hasil penemuan fisika modern sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan alam, kini telah menebarkan pemahaman dan jalan berpikir baru, yang bagi para filsuf posmodernisme ditempuh melalui gerakan phylosophy of life yang dimotori oleh tokoh-tokoh: Henri Bergson (1859-1941), Edward Le Ray (1870-1954), hingga Jose Ortega Y Gasset (1883-1955) dan telah mampu memahami bahwa ‘seluruh wujud dan peristiwa hidup’ ini saling berkaitan atau menyejarah. Berlangsung sebagai evolusi (proses yang berkesinambungan) dari inti hidup dan kehidupan manusia, sehingga pada hakekatnya ‘hidup adalah satu’, atau manunggaling urip. Atas prestasi para fisuf Barat kontemporer itu, berarti bahwa apa yang telah dibahas oleh para pujangga (filsuf Jawa) sebelum para filsuf Barat itu menemukan phylosophy of life, (lihat perbedaan tahun-tahun hidup pujangga Ranggawarsita dan para filsuf Barat kontemporer tersebut di atas).
Maka kini, di era zaman kontemporer sekarang ini, yang bermula sejak medio abad ke-20 Masehi, hakekat ‘hidup adalah satu’ atau manunggaling urip, bukan lagi sebagai kearifan tradisional tetapi ‘meloncat’ menjadi kearifan kontemporer yang sesungguhnya berasal dari kearifan perenial (azali). Imtelejensia Timur dan Barat kini bertemu pada suatu titik yang sama, yaitu back to natural point (kembali ke titik kodratiah) yaitu filsafat hidup (phylosophy of life).
Kenyataan ini bukan dipahami sebagai ‘kesombongan intelektual’ tetapi dipahami sebagai ‘kearifan universal (perenial)’ yang muncul kembali kepermukaan pemikiran filsafat Barat setelah melewati era chaos (kekacauan) tentang bahasan filsafat hidup di dunia Barat, selama era modernisasi hingga mencapai puncak ‘kecanggihan’ ilmu pengetahuan dan superteknologi’ yang telah menghancurkan seluruh potensi alam hanya demi kenikmatan hidup orang-orang di dunia Baratnya sendiri. Dan kini, tiba gilirannya ‘modernisme dikritisi oleh posmodernisme’. Itulah proses evolusi sejarah pemikiran Barat yang oleh filsafat Jawa disebut dengan istilah hanyakra manggilingan (seperti jalannya roda pedati yang terus berputar maju ke masa depan, bagian roda yang tadinya berada di landasan menanggung beban sejarah hidup dan kehidupan manusia, kini tiba gilirannya berada di atas dan bagi bagian roda yang dulu berada di atas kini harus gantian berada di landasan menanggung beban sejarah hidup dan kehidupan manusia.
Kiranya kini telah tiba saatnya bahwa dunia Barat harus ‘berani’ mengakui akan kebenaran tentang pembagian kelompok dasar ilmu pengetahuan atau struktur dan metodologi ilmu pengetahuan (epistemologi) seperti apa yang dikemukakan oleh ilmu filsafat Jawa, bahwa pengetahuan manusia itu berasal dari tiga sumber utama, yaitu: 1. Kawruh, yang berasal dari lingkungan hidup lahir dan kasat mata, yaitu lingkungan alam benda dan alam biologis, dengan mengusahakan keseimbangan dan kelestarian kehidupan alam semesta; serta lingkungan alam sesama manusia, dengan menjalankan tata laku susila dalam hidup bermasyarakatnya; 2. Ngelmu, yang berasal dari lingkungan hidup batiniah (spiritual), untuk memupuk ketajaman rasa-pangrasa secara bertingkat dari rasa penginderaan, nafsu naluriah, keakuan, kesusilaan, keindahan, sampai rasa jati; 3. Ngelmi, yang berasal dari lingkungan hidup religius, untuk memupuk keyakinan dan kesadaran (iman dan taqwa) kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan menjalani pelaksanaan ibadah atau sembah-sujud secara lahir dan batin. Bukan masalah unggul (superior) dan merendahkan (inferior) seperti ‘keangkuhan’ intelektual Barat selama ini, tetapi demi keselamatan hidup dan kehidupan sagunging kang dumadya (dari semua yang ada), semua makhluk Ciptaan-Nya semata. Beranikah mereka untuk mengakuinya?. q - s
Kala sira kadhawuhan mijil
Sira ora ngerti apa-apa
njur Allah paring rakhmate
iku wujud pangrungu
paningal lan ati kang suci
mula padha nyukurana ing paringan mau
kanggo sangu nggonmu mlana
lumaku ing alam kadonya puniki
supaya nora sasar
Terjemahannya: Saat engkau diperintahkan lahir ke dunia/ engkau tidak tahu apapun juga/ kemudian Allah memberikan rakhmat-Nya/ itu ujudnya berupa pendengaran/ penglihatan dan hati yang suci/ oleh karena itu bersyukurlah/ kepada pemberian tersebut/ untuk bekal dalam perjalanan hidupmu/ perjalanan di alam duniawi ini/ agar supaya tidak tersesat.
TEMBANG Dhandhanggula tersebut di atas, adalah bait ketiga dari suatu rangkaian tembang Jawa yang dimaksudkan untuk menjelaskan tentang kesadaran pribadi atau memahami kasunyatan (realitas jati diri) sendiri. Namun sayang, tembang itu tidak diketahui siapa penciptanya. Penulis tembang Jawa tersebut dengan kecendekiawan pikir dan rasa hatinya, telah dengan arif menuangkan firman Allah SWT: Dan tatkala masa kehidupan dalam rahim ibu telah usai, “Allah mengeluarkannya dari perut ibunya sedang ia tidak tahu-menahu halnya. Allah memberinya bekal awal berupa pendengaran, penglihatan dan pemikiran supaya ia mau berpikir”. (QS, An Nahl ayat 78): Kemampuan ‘berpikir’ itulah karunia yang lebih tinggi derajatnya dibanding karunia yang diberikan-Nya kepada makhluk-makhluk lain. Namun, bukan hanya sekadar berpikir doang, tetapi berpikir dengan hati yang suci (berpikir jernih dengan keiklasan hati).
Dengan hati yang suci itu manusia mampu mengenal dan memahami adanya hal-hal di balik yang tampak/fisik, yaitu yang non fisik; hal-hal metafisik (dibalik yang fisik). Dalam diri manusia dilekatkan-Nya roh, yang memiliki kekekalan sesudah kematian jasadnya. Bila manusia itu ‘menghendaki’ maka ia akan mampu untuk memahami akan hakikat hidup sejati, yakni paham akan sangkan paraning dumadi (arah tujuan kehidupan yang hakiki); bahwa hidup ini bukan hanya sebatas kelahiran sampai kematian saja, tetapi hidup yang sesungguhnya, seperti telah diingatkan oleh Rasulullah Muhammad saw, bahwa: “Walaupun masa kehidupan di dunia merupakan kehidupan yang terpendek, dunia merupakan tempat menanam kebahagiaan hidup di akhirat, dunia merupakan masra’atul akhirah (lahan tanaman akhirat).
Dalam memahami makna sabda Rasulullah itu, Orang Jawa berusaha terlebih dahulu untuk mampu memahami akan hakikat hidup sejati, yakni memahami sangkan paraning dumadi (arah tujuan kehidupan yang hakiki). Untuk bisa memahami sangkan paraning dumadi, sebelumnya ia harus memahami terlebih dahulu makna dari ‘masa kehidupan di dunia merupakan kehidupan yang terpendek’, yaitu ngawruhi kodrat lahir batin (mengetahui kodratnya secara lahir batin); hal itu dituangkannya dalam tembang Dhandhanggula:Sanepane, wong urip puniki
aneng donya iku umpamanya
mung mampir ngombe
umpama manuk mabur
lepas saking kurunganeki
pundi mencoke mbenjang, aja nganti kleru
umpama wong jan sinanjan
ora wurung mesthi bali mulih
mring asal kamulanya
Terjemahannya: Ditamsilkan, orang hidup senyatanya, di dunia itu diumpamakan, hanya seperti orang yang singgah minum, semisal burung terbang, lepas dari sangkarnya, ke mana hinggapnya kelak, jangan sampai keliru, seumpama orang saling kunjung-mengunjungi, akhirnya pasti kembali pulang, ketempat asal mulanya.
Bila manusia telah tahu akan kodratnya secara lahir batin, maka ia akan memperoleh ati suci tan mangro pikir (hati suci tanpa menduakan dengan akal) serta sucining paningal (kesuciannya penglihatan). Artinya, untuk bisa mengetahui tentang kodratnya sebagai manusia yang menanggung kewajiban untuk hidup dengan baik, dalam melaksanakan kehidupannya di dunia fana ini, pertama-tama adalah harus menjaga kesucian dari penglihatannya. Mata dikaruniakan kepada manusia untuk melihat apa saja yang terpampang di depannya, tetapi bukan berarti semua yang terpampang di hadapannya itu harus dilihatnya. Hal-hal yang dilarang untuk dilihat sesuai ketentuan larangan-Nya, dimaksudkan untuk menjaga moral matanya agar tetap suci, sehingga tidak menyebabkan gejolak nafsu (emosi) yang tidak terkendalikan oleh pikiran.
Pikiran itulah yang memerintah anggota badan untuk bertindak. Walau nurani (hati suci) sudah memperingatkan, tetapi kalau pikiran tak mampu menguasai gejolak nafsu (emosi), lalu tetap berbuat apa yang dilarang-Nya, maka penyesalanlah yang akan muncul dalam nurani (hati suci). Itulah makna ati suci tan mangro pikir serta sucining paningal (kesuciannya penglihatan).
Hanya dengan mengetahui kepada kodratnya itu, manusia akan sampai kepada pemahaman jatining tunggal (kesejatian satu-satunya) yakni sangkan paraning dumadi (arah tujuan kehidupan yang hakiki). Artinya, orang yang bisa menjaga kesucian penglihatannya, kesucian pikirannya dan kesucian hatinya atau hidup dengan bersih dari dosa jasmaniah dan rohaniahnya (lahir batinnya), berarti memiliki kepribadian yang baik, memiliki jati diri yang kukuh, kokoh, keket (pekat), bisa menjaga martabat jatining tunggal (kesejatian satu-satunya). Martabat bukan dalam arti duniawiah, tetapi martabat dirinya dihadapan Allah SWT. Dilahirkan kedunia dalam keadaan suci dan kembali kepada-Nya pun dalam keadaan suci pula. Itulah makna sangkan paraning dumadi atau paham akan arah tujuan kehidupan yang hakiki secara rohaniah (spiritual).
Apakah tujuan yang ingin dicapai dengan paham akan sangkan paraning dumadi?. Tidak ada lain kecuali untuk mencapai kepada pemahaman tertinggi: manunggaling kawula Gusti (bersatunya kembali manusia dengan Sang Penciptanya). Manusia yang ingin pulang ke haribaan Sang Penciptanya di surga (kebahagiaan hidup di akhirat) harus membawa buah hasil karya yang ditanam di masra’atul akhirah (lahan tanaman akhirat) atau hidup suci di dunia fana. Itulah yang disebut oleh Orang Jawa sebagai Ilmu Kasunyatan (pengetahuan tentang Realitas Jati Diri).
Apakah benih untuk ditanam di masra’atul akhirah (lahan tanaman akhirat) itu?. Tiada lain adalah dapat memahami kenyataan bahwa manusia hidup di dunia ini berada di tengah masyarakat dalam hubungan timbal balik dengan makhluk lainnya sampai kematiannya. Oleh karena itu, realitas jati diri (kasunyatan) tidaklah cukup hanya mengerti tentang sangkan paraning dumadi secara kuno (klasik). Artinya, sangkan paraning dumadi hanya dimengerti sebagai sekadar mulih asaling wiji (pulang ke asalnya) saja. Maknawi mulih asaling wiji itu bukan hanya sekadar dimengerti dalam kaitannya dengan alam wasana (dunia akhir/akherat), mulih asaling wiji itu harus dimengerti dalam dimensi waktu secara menyeluruh, yakni alam purwa (alam sebelum lahir) alam madya (hidup di dunia ini), dan alam wasana (alam sesudah kematian).
Orang dapat mulih asaling wiji dengan sempurna jika di dalam alam madya saat ini, ia menjalani tugas hidupnya dengan sempurna pula. Dalam alam madya ini orang hendaknya hidup dengan penuh amal sholeh terhadap sesamanya. Kasunyatan bukan hanya dipahami secara teoritis atau imbauan moral saja, tetapi harus dipahami secara praktis atau dipraktekkan dengan nyata dalam kehidupan bermasyarakatnya, kehidupan bernegaranya dan kehidupan berbangsanya.
Tidak ada nilai guna dan hasil guna yang akan dituai untuk bekal menuju surga, bila hidup ini hanya dilakoni dengan tebar pesona, ngumbar janji (nafsu) dan ngobral wacana.
q-s
*)Penulis, adalah pengamat, peneliti dan penulis buku kebudayaan Jawa, tinggal di Depok, Sleman, DIY)
Blog Entry
DALAM kalender yang diterbitkan SKH Kedaulatan Rakyat maupun kalender yang diterbitkan oleh lembaga yang masih peduli dengan budaya Jawa, selalu disertakan pranatamangsa dan pawukon. Mengenai pranatamangsa, masyarakat – khususnya yang berlatar belakang etnis Jawa – sudah banyak yang mengetahui. Secara umum, pranatamangsa yang arti harafiahnya ‘tata musim’ adalah sistem perhitungan musim menurut tradisi Jawa, dan sistem tersebut diperuntukkan bagi aktivitas bertani dan aktivitas lain yang dilakukan petani (beternak, misalnya). Tetapi bagaimana dengan pawukon? Banyak pihak, termasuk warga kelompok etnis Jawa sendiri, dan terlebih lagi kalangan generasi muda, belum memahaminya dengan jelas. Bagi sebagian besar orang Jawa, pengetahuan tentang wuku atau pawukon masih agak samar-samar.
Perwukuan atau pawukon tidak hanya dikenal dalam tradisi penanggalan Jawa. Dalam masyarakat Bali, pawukon lebih diakrabi dibanding dalam masyarakat Jawa. Kalender Bali asli tak pernah ada yang meninggalkan pawukon. Bahkan keyakinan masyarakat Bali terhadap wuku jauh lebih besar dan lebih kental dibanding keyakinan masyarakat Jawa. Perhitungan hari baik dan hari tidak baik berdasarkan wuku, di lingkungan masyarakat Bali masih berkembang dengan kuat sampai hari ini. Sedangkan orang Jawa sudah banyak yang mengabaikannya.
Dalam kalender yang diterbitkan KR, misalnya, sesudah disebutkan nama mangsa (musim) beserta wataknya dan ciri-ciri serta keterangan mengenai aktivitas agraris apa yang cocok untuk dilakukan pada musim itu, lantas disebutkan nama-nama hari baik. Pada bulan Januari 2009 nanti, misalnya, setelah dicantumkan perihal nama, watak, ciri dan keterangan tentang ‘Mangsa Kapitu’, selanjutnya dicantumkan hari baik, yakni Kamis Wage, Sabtu Legi (Wuku Watugunung), Minggu Pahing, Rabu Kliwon, Kamis Legi (Wuku Sinta), Minggu Wage, Senin Kliwon, Jumat Wage (Wuku Landep), Minggu Legi, Senin Pahing, Selasa Pon, Rabu Wage, Kamis Kliwon, Jumat Legi (Wuku Wukir), Rabu Legi, Sabtu Wage (Wuku Kurantil).
Dalam tradisi penanggalan Bali penyebutan hari baik dan hari kurang / tidak baik lebih lengkap lagi. Bahkan juga disebutkan hari baik untuk mencari rejeki, hari baik untuk melakukan aktivitas ini itu – seperti mendirikan rumah, bepergian dsb – dan hari yang perlu dihindari. Terkadang juga disebutkan ke arah mana baiknya untuk mencari rejeki. Tentu saja bila pada hari yang dianggap kurang baik seseorang harus melakukan suatu kegiatan yang tak bisa ditawar-tawar lagi, ada syarat-syaratnya, dan hal itu bisa dikonsultasikan dengan orang yang dianggap tahu di lingkungannya, seperti pedanda.
Adakah hari yang baik, kurang baik, dan tidak baik? Bukankah, secara rasional objektif, semua hari itu baik? Perdebatan tentang ada tidaknya hari baik, merupakan bentuk perdebatan yang tidak akan pernah ada akhirnya. Suatu hal yang jelas, nenek moyang kita mewariskan tradisi adanya hari baik dan hari yang kurang baik. Dalam kenyataannya, masih banyak warga masyarakat yang percaya akan hal itu. Semua itu merupakan fakta yang tak dapat dibantah.
Bagi masyarakat sekarang boleh jadi hal-hal sebagaimana tercantum dalam pawukon akan dianggap berbau takhayul. Bahkan mungkin saja akan dipandang ‘ngayawara’ alias membual. Soal itu sah-sah saja. Masalahnya tergantung dari mana kita memandangnya (berdasarkan keyakinan yang kita miliki secara pribadi maupun kelompok) dan juga dari perspektif mana (negatif-positif, pesimis-optimis, pikiran baik (positive thinking) / pikiran jelek (negative thinking). Kini adalah jaman demokrasi, pandangan seperti apa saja diberi tempat dan juga diberi peluang untuk dikemukakan. Yang penting seseorang atau pihak tertentu jangan sampai memaksakan pendapat atau pandangannya terhadap pihak lain.
Jadi kalau dalam kenyataannya masih banyak warga masyarakat yang percaya terhadap pawukon, siapapun tidak perlu sewot. Apalagi sampai memberi penilaian ini itu yang bernada menjelek-jelekkan. Justru hal seperti itu perlu dihargai dan dihormati. Toh kenyataannya hal itu merupakan salah satu cara dari warga yang percaya terhadap pawukon untuk menciptakan suatu perikehidupan yang lebih baik. Bukan untuk tujuan yang kurang baik.
Waktu dan Jiwa
Kata ‘pawukon’ dalam bahasa Indonesia identik dengan ‘perwukuan’. Kata tersebut dibentuk dari kata dasar ‘wuku’ dengan menampat imbuhan ‘pa-an’ (Jawa) atau ‘per-an’ (Indonesia). Kata ‘wuku’ itu sendiri memiliki makna ‘rahsa’ atau rasa, yakni rasa yang dimiliki oleh manusia. Dalam pandangan tradisi Jawa, rasa dapat dibagi menjadi 3, yakni rasa luar (njaba), rasa dalam (njero) dan rasa sejati. Rasa luar menyangkut rasa yang langsung menyentuh kulit, daging dan tulang manusia. Misalnya, panas, dingin, sakit, manis, asin dsb. Rasa dalam berhubungan erat dengan rasa yang dirasakan perasaan atau hati dan jiwa manusia, seperti sedih, senang, bahagia, tenteram, dendam, cinta, sayang, kecewa dsb. Sementara rasa sejati lebih banyak berkaitan dengan rasa yang dapat dirasakan oleh jiwa yang terdalam. Rasa kategori ini merupakan rasa yang dapat menerima ilham dari alam gaib.
Menurut budayawan Jawa Soenandar Hadikoesoema, rasa yang terkandung dalam kata ‘wuku’ termasuk jenis rasa dalam, yakni jenis rasa yang merupakan pengejawantahan hidup manusia. Jadi sejatinya, wuku berkaitan erat dengan kehidupan perasaan, hati, pikiran, dan jiwa manusia secara langsung. Rasa dalam jiwa manusia adalah jenis rasa yang bekerja dengan daya cipta manusia menggerakkan semua pekerti manusia yang bersangkutan (Jawa: rasa kang makertekake solah bawaning manungsa). Dalam perkembangan kehidupan manusia, pekerti yang menyangkut watak, perilaku dan tindakan manusia, menentukan nasib manusia. Sebagai suatu sistem, wuku tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki keterkaitan dengan kehidupan manusia.
Masih menurut Soenandar, pengetahuan tentang pawukon dapat juga dipahami sebagai pengetahuan tentang lelakon atau perjalanan hidup manusia menurut kodrat masing-masing. Dan berdasarkan coraknya, pawukon menyerupai pengetahuan tentang horoskop dalam ilmu perbintangan (astrologi). Dengan demikian pawukon identik dengan ilmu perbintangan ala Jawa.
Sampai saat ini, pawukon masih diyakini sebagai pengetahuan asli Jawa, yakni jenis pengetahuan yang telah ada sebelum masuknya berbagai pengaruh dari luar, baik pengaruh yang dibawa agama Hindu dan Budha maupun pengaruh yang dibawa agama Islam. Jauh sebelum kedatangan bangsa asing yang membawa agamanya masing-masing, pulau Jawa telah dihuni oleh suatu suku bangsa yang memiliki pengetahuannya sendiri. Dalam konteks pawukon, sistem pengetahuan yang dimiliki suku bangsa asli penghuni pulau Jawa adalah sistem pengetahuan penanda hari.
Jawa Asli
Ihwal kejawaan pawukon dapat ditilik dari nama-namanya, yang kesemuanya menggunakan nama atau kata bahasa Jawa. Pada nama-nama wuku, tidak ada pengaruh budaya luar. Ada 30 wuku yang dikenal masyarakat Jawa, yakni Sinta, Landep, Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasiya, Julungpujud, Pahang, Kuruwelut, Marakeh, Tambir, Madangkungan, Maktal, Wuye, Manail, Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dukut dan Watugunung. Dalam buku mengenai Pawukon, disertakan pula lambang-lambangnya, yakni gambar wayang. Di situ diperinci perwatakannya secara cukup detail.
Sebagai penanda hari yang disertai perwatakannya, wuku tidak berdiri sendiri. Biasanya penyebutannya dibarengkan dengan nama hari yang memiliki siklus 7 (Minggu / Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu) dan nama hari yang bersiklus 5 (Paing, Pon, Wage, Kliwon, Legi). Sebagai suatu sistem penanda hari beserta perwatakannya, dalam kalender Jawa modern, wuku telah menyatu dengan budaya Barat (tarikh Masehi) dan budaya Jawa yang dipengaruhi agama Islam (tahun Jawa) maupun budaya Islam itu sendiri (tahun Hijriah), karena telah disatukan dengan keberadaan tahun Masehi, tahun Jawa, dan tahun Arab. Khusus di Bali, telah disatukan pula dengan sistem tahun Saka. Sebagaimana diketahui tahun Masehi dan Saka menggunakan sistem peredaran matahari, karena itu dinamakan tahun Surya atau Qomariah. Sedangkan tahun Jawa dan tahun Hijriah menggunakan sistem peredaran bulan, karena itu dinamakan tahun Rembulan atau Syamsiah.
Setiap wuku terdiri dari 7 hari. Pergantian wuku dimulai setiap hari Ahad / Minggu. Biasanya, disebutkan lengkap dengan pasarannya (siklus hari khas Jawa / Bali), seperti Ahad Paing, dsb. Masing-masing sudah disertai ciri-ciri perwatakan atau karakternya. Cara menandai perwatakan atau karakter hari dan pasaran dalam setiap siklus wuku, termasuk agak rumit, karena juga mempertimbangkan karakter bulan Jawa dan jenis windu. Sebagaimana dikenal dalam tradisi Jawa, ada bulan-bulan tertentu yang baik untuk beraktivitas ini itu dan ada bulan-bulan tertentu yang dianjurkan dihindari untuk keperluan tertentu. Juga ada siklus 8 tahunan (windu), yakni Kunthara, Sangara, Sancaya dan Adi, dengan karakternya masing-masing pula.
Karakter hari yang disertai pasaran dan wuku, penentuannya menggunakan perhitungan yang memperhatikan siklus tahun, bulan dan windu. Pengetahuan tentang hal itu sesungguhnya dapat dipelajari. Tetapi kebanyakan orang pengin matangnya saja. Hanya sedikit orang yang dapat menentukan karakter hari berdasarkan pasaran dan wuku. Sehingga yang tersaji di masyarakat adalah daftar atau bentu jadi, sebagaimana tertera dalam kalender KR.
(S. Soeprapto / Joko Budiarto)-s
Blog Entry
Ritual menyambut Tahun Baru Jawa (1 Sura) di berbagai tempat memiliki kemiripan, yakni muncul semangat untuk berdoa demi keselamatan. Upacara Grebek Suro di Keraton Kasunanan Surakarta, maupun ritual Mubeng Beteng di Yogyakarta, hakikatnya adalah sebuah ruwatan.
Ritual Sura merupakan salah satu bentuk ruwatan dimaksud. Bagi masyarakat Jawa masih terikat beragam bentuk ruwatan itu, tetapi hakikatnya tetap sama yakni melepas kotoran. Ruwatan berasal dari kata ruwat yang berarti bebas, lepas. Mereka yang hidup sengsara atau hina harus diruwat. Dalam kidung Sudamala digambarkan kemujaraban ruwatan ketika Sadewa meruwat Batari Durga dan dua raksasa bernama Kalantaka serta Kalanjana. Setelah diruwat, ketiganya kembali berubah menjadi wujud aslinya. Batari Durga menjadi bidadari Uma, Kalantaka menjadi Citragada dan Kalanjana menjadi Citrasena.
Cerita kemujaraban ruwatan macam itu acapkali dikategorikan gugon-tuhon, semacam tahayul. Namun beberapa sastrawan Jawa menempatkan gugon-tuhon itu sebagai sesuatu yang bermanfaat karena di dalamnya berisi nasihat tersamar, maupun ajaran, petunjuk, hingga pantangan.
Sesungguhnya di balik gugon-tuhon itu terdapat nasihat bahwa yang baik bisa menjadi buruk jika berbuat kesalahan, tetapi masih memungkinkan untuk menjadi baik kembali sepanjang ada kemauan.
Ritual ruwatan mengandung refleksi. Dalam urut-urutan ritual itu sarat nasihat yang disampaikan secara simbolik dan metaforik. Cara ini diharapkan lebih mengena ketimbang pesan-pesan lugas sehingga tujuan menciptakan manusia baru lebih mudah tercapai. Manusia baru di sini adalah mereka yang telah melepas kotoran di badan maupun batin.
Orang-orang yang berhasrat untuk ruwatan dalam satu Sura, merasa yakin dirinya dilumuri kotoran. Secara fisik bisa terlihat bersih, tetapi dalam batin bisa saja sangat kotor. Inilah kesempatan mereka untuk menjelma menjadi manusia baru, manusia bersih tadi.
Kotoran itu merupakan malapetaka. Setidaknya ini bisa dirunut dari makna harafiahnya. Jika memakai pengertian harafiah yang diberikan oleh Zoetmulder (1982:1092), malapetaka itu ibarat “kejatuhan kotoran”, di mana mala berarti kotoran dan petaka berarti kejatuhan. Sudah barangtentu orang berupaya menghindari malapetaka. Siapapun tak ingin kejatuhan kotoran. Oleh karena itulah malapetaka menjadi hal menakutkan. Malapetaka menjadi bahaya hidup yang berat. Malapetaka menggambarkan penderitaan dan kesengsaraan.
Manusia berupaya menghindari malapetaka, tetapi Tuhan berkehendak lain. Mapetaka didatangkan-Nya tiba-tiba, namun tak sedikit yang diikutkan dalam “perencanaan” manusia. Mereka yang kejatuhan malapetaka disebut manusia sukreta atau manusia sukerta. Dalam serat Centhini terdaftar 60 macam manusia sukerta, sementara serat Murwakala 147 macam manusia sukerta.
Jika bangsa kita yang kejatuhan malapetaka maka bisa disebut Indonesia sukerta. Sebagian masyarakat Jawa mencerabut unsur kata “suker” dari sukerta ini. Suker berarti kotor atau noda. Indonesia sukerta menjadi Indonesia yang kotor, Indonesia ternoda. Indonesia sukerta merupakan pangayam-ayaming (ancaman) Batara Kala. Raksasa bertaring ini merupakan raja segala setan dan jin di Nusakambangan. Jadi Batara Kala adalah simbol keburukan maupun kejahatan. Dalam konteks kekinian, Indonesia sukerta adalah Indonesia yang ternoda lantaran berbagai keburukan atau kejahatan. Keburukan itu acapkali diidentikkan dengan degradasi moral.
Indonesia sukerta harus dibersihkan. Segala kotoran dan noda dibuang jauh-jauh agar tujuan rakyat sejahtera bisa tercapai. Sebagian masyarakat Jawa yakin bahwa lewat ritual ruwatan segala kotoran itu bisa dibersihkan, maka ruwatan bangsa diperlukan. Setidaknya Indonesia tak lagi menjadi ancaman Batara Kala. Indonesia bisa lolos dari malapetaka. Atas dasar inilah ritual Sura makin banyak diikuti masyarakat semata-mata semangat untuk membebaskan berbagai kotoran. Lalu, setelah satu Sura, siapkah kita untuk tidak membuat kotoran lagi? (*)
Blog Entry
Alkisah, di kerajaan bernama PuloMajethi, bertahtalah seorang raja yang memerintah dengan adil bijaksana bernama Aji saka. Sang Raja memiliki 2 abdi setia, yakni Dora & Sembada. Demikian patuhnya para abdi ini kepada sang Raja sehingga mereka selalu mematuhi perintahnya tanpa terkecuali.
Suati hari, Sang Raja memutuskan berkelana dengan ditemani Dora. Sedangkan Sembada diperintahkan untuk menjaga pusaka dengan pesan bahwa tidak ada siapapun berhak mengambilnya kecuali Aji saka sendiri. Demikianlah Aji saka diikuti oleh Dora mengembara hingga sampai ke tanah Jawa. Di tanah Jawa, ada sebuah kerajaan bernama Medhang Kamulan. Dahulu merupakan kerajaan yang gemah ripah loh jinawi sampai suatu ketika sang raja yang bernama Dewata Cengkar berubah menjadi pemangsa manusia. Awal mulanya adalah saat juru masak kerajaan sedang menyiapkan makanan untuk raja, tiba – tiba tanpa sengaja terpotong jari tangannya dan nyemplung didalam masakan. Saat dihidangkan, sang Prabu merasakan daging yang nikmat luar biasa, yang belum pernah dia rasakan seumur hidupnya. Dia memerintahkan sang patih untuk mencari tahu daging apakah gerangan yang disantapnya. Ketika diketahui itu adalah daging manusia, maka sang prabu meminta tiap hari dipersembahkan satu manusia untuk menjadi santapannya. Sejak itulah Kerajaan MedhangKamulan berubah menjadi menakutkan bagi siapa saja.
Mengetahui apa yang terjadi, Ajisaka menghadap sang patih dan meminta untuk dijadikan persembahan raja. Saat dihadapkan, bukan main girang hati sang Prabu melihat calon santapannya yang tampan rupawan. Namun Aji saka mengajukan syarat yang apabila dipenuhi, dia akan lila legawa dijadikan santapan Raja. Syarat tersebut adalah Ajisaka meminta sejengkal tanah seluas bentangan sorban yang dipakainya dan meminta sang Prabu sendiri yang mengukur. Sang Prabu memenuhi syarat tersebut . Ajaibnya ketika sorban diulur, ternyata tiada habis – habisnya. Sang Prabu semakin penasaran, dan mengulur sambil berjalan mundur hingga tanpa terasa sampai di tepi samudra selatan. Seketika itu, sorban dikelebatkan oleh Aji saka dan terlemparlah sang Prabu ke dalam laut, menjelma menjadi buaya putih.
Dengan demikian, kerajaan MedhangKamulan terbebas dari raja yang angkara. Aji saka dinobatkan menjadi Raja. Beliau teringat akan pusakanya yang dijaga oleh Sembada di PuloMajethi. Kemudian diutuslah Dora untuk mengambil pusaka tersebut. Dora berangkat menemui Sembada dan mengatakan maksud tujuannya yakni mengambil pusaka Ajisaka. Sembada tidak mau memberikan karena teringat perintah hanya Ajisaka sendiri yang berhak mengambil pusaka tersebut. Akhirnya kedua abdi setia ini tidak menemui kesepakatan, berselisih dan bertarung. Karena sama saktinya, mereka berdua justru sama – sama saling terbunuh.
Khabar terbunuhnya 2 abdi setia tersebut sampai ke Ajisaka di medhang Kamulan. Betapa sedih hati sang Raja. Sebagai ungkapan rasa duka yang mendalam tersebut, maka Ajisaka menciptakan rangkaian aksara untuk mengenang 2 abdi setianya. Aksara tersebut yang kini kita kenal sebagai aksara Jawa; yakni
ha na ca ra ka
Dikisahkan tentang dua orang abdi setia
da ta sa wa la
Keduanya terlibat perselisihan dan berkelahi
pa dha ja ya nya
Mereka sama-sama kuat dan tangguhnya
ma ga ba tha nga
Akhirnya kedua abdi itu tewas bersama
Setelah dewasa, tentu bukan dongeng yang menarik hati kita. Namun apa yang tersirat dibalik yang tersurat dalam dongeng itu, serta apa makna dan falsafah yang bisa digali dari rangkaian aksara Jawa tersebut. Dari sebuah Milis yang saya ikuti, beberapa rekan yang saya rasa memiliki pengetahuan ttg budaya Jawa, mencoba memberikan interpretasi makna aksara jawa. Saya kutipkan beberapa diantaranya :
- Aksara Jawa ha-na-ca-ra-ka mewakili spiritualitas orang Jawa yang terdalam: yaitu kerinduannya akan harmoni dan ketakutannya akan segala sesuatu yang dapat memecah-belah harmoni. Dua abdi setia Ajisaka bisa merepresentasikan dua dikotomi kekuatan yang apabila lepas dari kendali empunya, akan berpotensi menimbulkan konflik. ( catatanrenunganku.blogspot.com )
- Aksara ha na ca ra ka bisa dibaca sebagaimana kita membaca Chandra sengkalan, yakni dibalik urutannya dari kata terakhir. Jika mulai dibaca dari ma ga ba tha nga, maka maga mbathang = Menempuh jalan kematian (nafsu) sebelum mengalami kematian fisik atau kematian yang kita mengerti dalam hukum biologi. Perlu diketahui bahwa kata "maga" adalah kata Jawa Kuna yang berarti "musim", atau sebutan bagi bulan ketujuh (11 Januari - 11 Februari). Dus, maga mbathang adalah pengkondisian diri untuk menjalani hidup semedi yang sebenarnya. Inilah kondisi untuk menghilangkan "dualitas" dalam persepsi kehidupan ini. Pa dha ja ya nya = kekuatan dalam diri manusia dan di luarnya telah menyatu padu. Dalam bahasa daratan Cina, Yin dan Yang telah jumbuh menjadi satu sehingga tak bisa lagi diekstrak unsur-unsurnya. Dha ta sa wa la = tiada lagi pertentangan antara unsur luar dan dalam, tiada lagi pertentangan unsur Yin dan Yang. Perlu diketahui bahwa dhata ialah kosa kata Jawa Kuna yang searti dengan dhatan yang maknanya "tanpa" atau "tiada". Sedangkan "sawala" bermakna pertentangan, pertikaian, atau perkosaan. Ha na ca ra ka = muncullah caraka, atau lahirlah pesan atau kreasi. Dus, lahirnya alam semesta ini ya adanya proses Hanacaraka pada Sang Hidup atau Hyang Urip. Terjadinya kreasi dalam kehidupan ini ya karena adanya manusia-manusia yang menjalani proses Hanacaraka. Selama kita tidak mau menjalankan proses "mbathang" atau mematikan ego, maka selamanya tak akan ada kreasi. ( Achmad Chodjim )
- Jikalau manusia ingin melangkah lebih jauh (agar tidak menjadi bangkai) maka sebaiknya dengan asumsi yang telah di tafsirkan secara berbeda yang diajarkan oleh Pakubuwono IX, Raja Kasunanan Surakarta. Tafsir tersebut adalah:
Ha-Na-Ca-Ra- Ka berarti ada " utusan " yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan). Da-Ta-Sa-Wa- La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data " saatnya ( dipanggil ) " tidak boleh sawala " mengelak " manusia ( dengan segala atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan. Pa-Dha-Ja-Ya- Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Ilahi) dengan yang diberi hidup ( makhluk ). Maksdunya padha " sama " atau sesuai, jumbuh, cocok " tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu " menang, unggul " sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan " sekedar menang " atau menang tidak sportif. Ma-Ga-Ba-Tha- Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya. ( David Goh )
- Ada juga pengertian (tafsir) yang lain:
HANACARAKA: Ada dua kutub peradaban di dunia (religiusitas agama dan rasionailitas sekuler empiris)
DATASAWALA: Keduanya selalu berseteru (konflik)
PADAJAYANYA: Sama-sama memiliki kekuatan (pengikut)
MAGABTHANGA: Penyebab banyak kematian akibat konflik keduanya.
Aksara Jawa yang diartikan (dijarwakke) satu per satu ternyata mengajarkan tentang 'Hakekating urip'. Suatu solusi untuk menjembatani dua kutub peradaban yang selalu berseteru tersebut. ( Ki Sondong Mandali )
Sumber http://duit777.blogspot.com/2010/10/primbon-tradisi-jawa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar